Banyak orang berpendapat bahwa semburan lumpur
disidoarjo itu terjadi karena adanya gempa yang terjadi dijogja dua hari
sebelum ditemukannya semburan lumpur pertama yang berada di sidoarjo. Namun
beberapa peneliti seperti Teori Richard Davies,
geolog asal Universitas Durham, Inggris, tentang lumpur Lapindo, terbantahkan.
Davies sebelumnya berpendapat lumpur disebabkan prosedur kegiatan eksplorasi
yang tak layak.
Dia
menilai pengeboran gas Banjar Panji-1 tak memenuhi kelayakan.
Banyak pihak yang menjadikan penelitian Davies sebagai pijakan berpikir dan bertindak. Lapindo nyaris tersudut. Padahal, letusan lumpur, menurut penelitian sebagian besar ilmuwan dari berbagai negara, disebabkan gempa bumi yang pernah melanda Yogyakarta dan sekitarnya.
Banyak pihak yang menjadikan penelitian Davies sebagai pijakan berpikir dan bertindak. Lapindo nyaris tersudut. Padahal, letusan lumpur, menurut penelitian sebagian besar ilmuwan dari berbagai negara, disebabkan gempa bumi yang pernah melanda Yogyakarta dan sekitarnya.
Selain
pendapat dari teori Davies diatas Yusuf
Wibisono (Dosen
Universitas Brawijaya Malang) menyatakan bahwa Setidaknya
ada 3 aspek yang menyebabkan terjadinya semburan lumpur panas tersebut.
Pertama, adalah
aspek teknis. Pada awal tragedi, Lapindo bersembunyi di balik gempa tektonik
Yogyakarta yang terjadi pada hari yang sama. Hal ini didukung pendapat yang
menyatakan bahwa pemicu semburan lumpur (liquefaction) adalah gempa (sudden
cyclic shock) Yogya yang mengakibatkan kerusakan sedimen.7 Namun, hal itu
dibantah oleh para ahli, bahwa gempa di Yogyakarta yang terjadi karena
pergeseran Sesar Opak tidak berhubungan dengan Surabaya.8 Argumen liquefaction
lemah karena biasanya terjadi pada lapisan dangkal, yakni pada
sedimen yang ada pasir-lempung, bukan pada kedalaman 2.000-6.000 kaki.9
Lagipula, dengan merujuk gempa di California (1989) yang berkekuatan 6.9 Mw,
dengan radius terjauh likuifaksi terjadi pada jarak 110 km dari episenter
gempa, maka karena gempa Yogya lebih kecil yaitu 6.3 Mw seharusnya radius
terjauh likuifaksi kurang dari 110 Km.10 Akhirnya, kesalahan prosedural yang
mengemuka, seperti dugaan lubang galian belum sempat disumbat dengan cairan
beton sebagai sampul. Hal itu diakui bahwa semburan gas Lapindo disebabkan
pecahnya formasi sumur pengeboran.12 Sesuai dengan desain awalnya,
Lapindo harus sudah memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150 kaki, casing
20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada 2385 kaki dan casing
13-3/8 inchi pada 3580 kaki.13 Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari
kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka belum memasang casing
9-5/8 inci. Akhirnya, sumur menembus satu zona bertekanan tinggi yang
menyebabkan kick, yaitu masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur.
Sesuai dengan prosedur standar, operasi pemboran dihentikan, perangkap Blow
Out Preventer (BOP) di rig segera ditutup & segera dipompakan lumpur
pemboran berdensitas berat ke dalam sumur dengan tujuan mematikan kick.
Namun, dari informasi di lapangan, BOP telah pecah sebelum terjadi semburan
lumpur. Jika hal itu benar maka telah terjadi kesalahan teknis dalam pengeboran
yang berarti pula telah terjadi kesalahan pada prosedur operasional standar.14
Kedua, aspek
ekonomis. Lapindo Brantas Inc. adalah salah satu perusahaan Kontraktor Kontrak
Kerja Sama (KKKS) yang ditunjuk BP-MIGAS untuk melakukan proses
pengeboran minyak dan gas bumi. Saat ini Lapindo memiliki 50% participating
interest di wilayah Blok Brantas, Jawa Timur.15 Dalam kasus
semburan lumpur panas ini, Lapindo diduga “sengaja menghemat” biaya operasional
dengan tidak memasang casing. Jika dilihat dari perspektif ekonomi,
keputusan pemasangan casing berdampak pada besarnya biaya yang
dikeluarkan Lapindo. Medco, sebagai salah satu pemegang saham wilayah Blok
Brantas, dalam surat bernomor MGT-088/JKT/06, telah memperingatkan Lapindo
untuk memasang casing (selubung bor) sesuai dengan standar operasional
pengeboran minyak dan gas. Namun, entah mengapa Lapindo sengaja tidak memasang casing,
sehingga pada saat terjadi underground blow out, lumpur yang ada di
perut bumi menyembur keluar tanpa kendali.
Ketiga, aspek
politis. Sebagai legalitas usaha (eksplorasi atau eksploitasi), Lapindo telah
mengantongi izin usaha kontrak bagi hasil/production sharing contract
(PSC) dari Pemerintah sebagai otoritas penguasa kedaulatan atas sumberdaya
alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar